Hari itu di Panggung Biru

Oleh: Akcey

Hari itu. Aku sangat mengingat hari itu. Hari di mana kita berbicara tentang abad pencerahan di Eropa. Hari di mana kita bergurau tentang mantra-mantra sihir. Hari di mana kita menikmati es krim di mal. Pernahkah kau memikirkan hari itu sebagai hari yang istimewa di dalam hidupmu? Semenjak hari itu aku bertanya-tanya, apakah mungkin hari itu adalah hari di mana aku menemukan cinta yang sesungguhnya? Cukup lama aku mengenalmu. Dan selama itu pula aku mengagumimu. Kini … aku tak mampu berhenti memikirkannya. Mungkin aku menemukan hal lain di dalam dirimu hari itu. Hari saat kau mengajakku ke perpustakaan kecil di tepi jalan.

Hari itu, di panggung berwarna biru, kau duduk di sebelahku. Saat itu kita tengah bercakap-cakap dan membahas tentang vremya. Tidak. Aku salah. Bukan kita yang bercakap-cakap. Namun ketiga dosen kita yang saling bercakap-cakap. Sejujurnya, setiap kali aku mengikuti kelas itu, aku tidak henti berkeluh kesah di hati karena tidak memahami apa yang sedang dibahas. Namun, bila duduk di dekatmu, aku tak ingin merasa atau terlihat bodoh. Tentu saja. Aku tidak tahu apa yang sedang dosen kita bicarakan. Aku hanya menganggukkan kepala sambil menggulir layar ponselku. Aku pikir kau juga melakukan hal yang sama. Dan kita berdua menyadari bahwa kelas itu sangat tidak efektif. Hingga akhirnya kau memulai pembicaraan denganku. Dan saat itulah hatiku mulai bergejolak riang.

Kau menanyakan arti kata yang sulit dari materi yang dosen kita berikan. Sepertinya keberuntungan sedang menaungiku. Aku bisa menjawabnya meski dengan sedikit keraguan. Kepura-puraanku nampaknya berubah menjadi kebenaran dari diriku. Tentu aku tidak bodoh. Namun orang bisa menjadi bodoh ketika ia gugup.

Hari itu, bukan sekadar menjawab arti dari setiap kata. Aku masih belum mampu meyakinkan diriku bahwa hari itu benar-benar terjadi. Hari yang sangat mengejutkan. Kau sudah puas dengan materi dari dosen hari itu. Lima belas menit terakhir sebelum kelas dibubarkan, kau menanyakan kepadaku tentang sebuah perpustakaan kecil di pinggir jalan. Oh ya … kau mendengar itu dari dosen favorit kita. Saat itu hatiku menebak, kau ingin pergi ke sana dan mencari-cari buku yang disebut oleh dosen favorit kita, bukan? Dan ternyata aku benar. Hanya saja aku tidak menyangka kau mengajakku dan bukan teman-teman perempuanmu.

Belasan tahun aku hidup, hari itu adalah kali pertama seorang perempuan mengajakku pergi berdua menuju perpustakaan. Tentu aku mau. Aku mengafirmasi ajakanmu dengan semangat bergejolak. Namun pikiranku terlalu takut rupanya. Selepas mengajakku kau mulai membahas dosen favorit kita. Dan pembahasan kita sampai pada kesepakatan bahwa akan sekarat kita bila tidak bertemu dengannya sekali lagi. Sehingga kau mengajakku untuk ikut kelasnya secara luring di pertemuan berikutnya.

Setelah kelas “Dialog Para Dosen” selesai, aku mulai khawatir. Tentu aku khawaatir. Aku tidak pernah mendapati seorang perempuan mengajakku pergi berdua saja. Bisa dibilang, hari itu aku benar-benar bodoh. Dan penyamaranku agar tidak terlihat bodoh di dekatmu menjadi terbongkar, kurasa. Kau mengajakku dan bukan yang lain, tapi aku malah mengajak yang lain pula. Sekarang aku akan berkata bahwa aku menyesal telah melakukan itu.

Ternyata, tak sedikit teman-teman yang ingin ikut pula dan terus terang aku menjadi gelisah saat itu. Sebab aku tidak berniat mengajak terlalu banyak teman. Entahlah. Aku tidak memahami kegelisahanku hari itu. Oh … tapi lagi-lagi keberuntungan menaungiku. Terima kasih pada semesta karena hanya membiarkan Sofia yang pergi bersama kami. Aku ingat hatiku merasa lega kala itu. Namun kini aku turut kasihan pada Sofia teman kita. Aku harap saat itu dia tidak merasa menjadi obat nyamuk bagi kita.

Kita berjalan bersama. Menaiki angkutan kampus dan turun di gerbang depan universitas yang tidak pernah dibuka. Kemudian kita berjalan menuju perpustakaan kecil itu melewati satu-satunya trotoar yang berkualitas cukup baik di luar areal kampus.

Di dalam perjalanan itu … kau ingat, bukan? Aku menanyakan kepadamu tentang buku yang ingin kau baca. Saat itu aku tertegun karena dugaanku sebelumnya salah. Kau ingin mencari tahu tentang abad pencerahan di Rusia bukan mencari tahu tentang Anton Chekov atau Dostoyevsky atau Pushkin. Sungguh aku berharap agar Maman tidak mendengar kau berkehendak demikian saat itu juga. Namun aku telah memberitahunya beberapa hari lalu. Aku bisa merekomendasikan Maman sebagai tutor sejarah Eropa bagimu dalam pembicaraan itu. Namun demi mangga manis Pak Yayat, aku tidak akan pernah melakukannya!

Lalu kita terjun bebas membahas tentang patronum dan asrama-asrama Hogwarts. Aku yakin Sofia merasa menjadi obat nyamuk saat itu – maaf Sofia. Entah bagaimana kita bisa sampai di Hogwarts. Sepertinya kita terlalu jauh bermain. Sayang sekali ada banyak judul buku yang kau utarakan saat itu yang tidak kumengerti. Namun menariknya kau tidak terdengar begitu kecewa. Karena setidaknya kita adalah penggemar fiksi fantasi. Dan Jostein Gaarder – walaupun aku baru membaca Perpustakaan Ajaib Bibbi Bokken.

Kita berjalan melewati mal. Dan lagi-lagi aku salah. Sebelumnya aku bilang perpustakaannya terletak sebelum mal jika dari gerbang depan universitas yang tidak pernah dibuka. Rupanya letak perpustakaan itu setelah setelah mal dan toko buku. Sial. Aku kini yakin bahwa saat itu aku gugup hingga menjadi bodoh.

Dan sampailah kita di perpustakaan kecil yang penuh buku berjamur. Oh astaga … jika aku penjaga perpustakaannya sudah pasti susunan buku di sana akan lebih simetris dan rapi. Tapi justru ketidakrapihan di sana membawa atmosfer yang khas dan berbekas. Benar-benar berbekas. Terlebih melihatmu terpaku kagum dengan kepala mendongak ke atas untuk memandangi deretan buku-buku besar yang ada di langit-langit. Tampak seutas senyummu yang indah dan matamu yang berbinar kagum. Aku melihatmu dari sisi kiri ketika cahaya hangat siang menuju sore menyorotmu dari belakang, dan rak buku setinggi tiga meter ada di sebelah kananmu. Dirimu menjadi satu potret kuno penuh kerinduan yang diambil mataku dan masih tersimpan di memori otakku hingga kini.

Sofia segera menemukan hal-hal berbau filsafat di sana. Saat itu aku membayangkan dirinya meleleh karena menemukan buku filsuf favoritnya yang selama ini ia cari-cari di perpustakaan pusat universitas. Malang sekali. Aku turut berduka untuk keterbatasan itu. Tentu kami semua sedih. Terlebih dirimu. Kau telah lama mencari dan akhirnya menemukan yang kau mau. Di sana, ada banyak sekali yang belum pernah kita lihat sebelumnya. Dan aku sangat terenyuh ketika hatiku mengucapkan hal yang sama seperti yang kau tuturkan. “Jika bisa, aku ingin hidup di sini, menghabiskan sepanjang waktuku untuk membaca dan membaca tanpa mempedulikan apa yang terjadi di luar sana.” Terdengar sangat fantasi. Tapi tidak bagiku.

Kita menemukan buku menarik yang menurut kita mampu dihabiskan. Kemudian kita duduk di teras, membaca sebentar sambil menikmati hembusan angin sejuk berpolusi. Aku membaca Malam Putih milik Fyodor Dostoyevsky. Sejenak hening meliputi. Saat itu aku tidak bisa benar-benar membaca. Aku terus membayangkan momen ini yang seolah tidak nyata bagiku namun kau membuatnya nyata. Sesekali aku melirik penasaran ke arahmu. Aku ingat hatiku semakin terpesona akan betapa santainya dirimu ketika sebuah buku sudah di tangan.

Setengah jam berlalu. Kita kembali mencari judul-judul yang lain. Setengah jam lagi berlalu, kita akhirnya memutuskan untuk menyewa beberapa buku setelah bergosip tentang penjaga perpustakaan kecil itu yang amat berpengetahuan. Oh … sekali lagi aku terenyuh, mengetahui kau dan aku sepakat bahwa ia orang yang menakjubkan. Sulit untuk mengungkapkan kekaguman kita dengan kata-kata. Kemudian kau terpaksa puas dengan yang kau dapat saat itu. Begitu pula denganku. Juga Sofia. Lantas kita meninggalkan perpustakaan kecil itu dan berjalan menuju mal.

Aku melihat kesedihanmu karena waktu yang terbatas membuatmu tidak bisa bertahan lama di sana. Aku yakin saat itu hatiku juga sedih. Namun sedih karena kau sedih. Aku mengusulkan agar kita membeli es krim. Dan kurasa es krim membuat kita lebih tenang dalam merindukan perjumpaan dengan impian kecil kita. Kita memakannya di tangga lobi mal. Ah … demi mangga manis Pak Yayat, aku menikmati suasana itu! Sangat tenteram di hati. Andai hanya aku dan kau. Apa mungkin kau mau?

Benar. Nana … kini aku menyadari … setelah apa yang kita lalui saat itu. Dimulai dari ajakanmu di Panggung Biru hari itu. Aku menemukan cinta di dalam dirimu. Aku terus memikirkannya selama ini. Bagaimana bisa aku merasakan kenikmatan di hari itu sedangkan tidak di hari setelahnya dan berikutnya? Itu karena aku bersamamu. Aku telah menyadarinya sekarang. Aku kembali merasakan kenikmatan dan ketentraman yang sama ketika kita kembali lagi pekan berikutnya ke perpustakaan kecil itu. Dan pekan berikutnya lagi. Semenjak hari itu, aku merasa semakin dekat denganmu dan semakin tenteram di sekitarmu. Nana … aku mengagumimu sejak awal kita saling berkirim pesan. Dan kini aku mencintaimu sejak di Panggung Biru hari itu.

Nana … jika kau juga mencintaiku, maka akan kuperlihatkan kepadamu perpustakaan ajaib Bibbi Bokken milikku. Akan kuberikan kepadamu. Haruskah kita menamainya Perpustakaan Ajaib Mike dan Nana nanti? Akan kuperlihatkan pula seluruh mantra yang aku kuasai untuk melindungimu dari para dementor bertubuh manusia. Aku tidak akan ragu merapal mantra terlarang untuk mempertahankan keselamatan kita. Namun aku yakin kau tidak ingin aku melakukan itu. Nana, kau orang yang paling mengerti aku dibandingkan dengan orang-orang yang pernah kutemui. Kau adalah horcrux milikku. Setelah menemukanmu, aku tak mungkin kehilanganmu. Aku tidak menginginkan keabadian untuk tubuh ini. Namun cinta dan kebaikan darimu, biarlah itu yang abadi, juga jiwaku yang akan hidup bersamamu.

Diterbitkan oleh HIMPUNAN MAHASISWA SASTRA RUSIA UNPAD

Website Resmi Himpunan Mahasiswa Sastra Rusia Universitas Padjadjaran. Line : @tfw6701a Twitter : @himarusunpad Instagram : @himarusunpad Youtube : HIMARUS UNPAD

Tinggalkan komentar