Meluruskan Kesalahpahaman Masyarakat Tentang Feminisme

Oleh: Fahrian Hafizh Wibowo
Foto: History.com

Feminisme merupakan gerakan perempuan yang menuntut kesetaraan gender antara perempuan dan laki-laki. Meskipun feminisme merupakan gerakan dengan tujuan yang mulia, masih banyak sekali orang yang menyalahartikan definisi dan tujuan dari agenda feminisme itu sendiri. Apa sajakah kesalahpahaman tentang feminisme yang berkembang di masyarakat?

1. Feminisme menuntut perempuan lebih tinggi stratanya dibandingkan laki-laki

Kesalahpahaman umum yang pertama adalah tentang strata sosial yang ingin diraih oleh gerakan feminisme. Feminisme tidak ingin melampaui strata laki-laki dalam urusan apapun. Yang dituntut oleh feminisme adalah kesetaraan dengan laki-laki. Gerakan feminisme sadar betul bahwa dalam beberapa aspek sosial, feminisme tidak dapat diaplikasikan. Seperti gelar ‘bin/binti’ dalam agama Islam yang disematkan kepada nama bapak tidak mungkin diberikan kepada Ibu. Atau perempuan yang tidak bisa menjadi seorang pendeta di dalam kepercayaan katolik. Yang dituntut oleh feminisme adalah kesetaraan dalam bidang hierarkis profesional. Mulai dari perempuan yang dapat meraih posisi tinggi tanpa merasa didiskriminasi, mendapatkan gaji yang setara dengan pekerja laki-laki pada pekerjaan yang sama, serta mendapatkan keadilan berupa cuti hamil dan melahirkan.

2. Feminisme akan membuat perempuan yang bekerja, dan laki-laki yang mengurus rumah

Miskonsepsi akan hal ini biasanya terjadi di negara-negara asia. Kultur patriarkis yang menuntut pria untuk bekerja seolah ‘disentil’ dengan feminisme yang mendorong perempuan untuk menjadi wanita karir. Di dalam pernikahan, hal ini tentu saja dapat dibicarakan dengan baik. Laki-laki dapat bekerja, dan perempuan dapat bekerja pula. Urusan mengurus rumah (termasuk anak) dapat diserahkan kepada seorang ART tanpa menghilangkan peran dari kedua orangtuanya. Dengan komunikasi yang baik tentunya hubungan yang harmonis akan terjadi di rumah tangga tanpa menyurutkan niat sang Perempuan untuk bekerja.

3. Perempuan feminis cenderung pilih-pilih dalam bekerja, tidak ingin bekerja menjadi pekerja kasar selayaknya laki-laki yang bekerja menjadi kuli bangunan

Kondisi fisik perempuan tentunya berbeda dengan laki-laki. Kaum pria memiliki hormon testosteron dan massa otot yang lebih tinggi yang membuat mereka lebih berani dan perkasa dalam melakukan pekerjaan yang menggunakan fisik. Orang-orang menyalahartikan keengganan perempuan bekerja sebagai pekerja kasar bahkan berargumen “Katanya nuntut pekerjaan yang sama dengan laki-laki, kok gamau bekerja jadi kuli?”. Tentunya hal ini tidak dapat dibenarkan. Kesetaraan dalam hal profesi yang diinginkan feminisme adalah yang sesuai dengan kapasitas mereka. Feminisme rata-rata didominasi perempuan yang teredukasi dan memiliki wawasan yang luas. Mereka bekerja menggunakan otak dan kreativitasnya. Tentunya para lelaki juga akan berpikir dua kali apabila ia adalah seorang lulusan sarjana namun berprofesi sebagai kuli bangunan, tanpa meremehkan para kuli bangunan diluar sana.

Gerakan feminisme cepat atau lambat akan terus berkembang. Perempuan harus memiliki kesamaan derajat dengan laki-laki dalam urusan yang tepat. Majunya dan berdayanya perempuan dapat memajukan ekonomi nasional disamping memberikan kesejahteraan bagi kaum perempuan itu sendiri.

Diterbitkan oleh HIMPUNAN MAHASISWA SASTRA RUSIA UNPAD

Website Resmi Himpunan Mahasiswa Sastra Rusia Universitas Padjadjaran. Line : @tfw6701a Twitter : @himarusunpad Instagram : @himarusunpad Youtube : HIMARUS UNPAD

Tinggalkan komentar