Hidup Emang Gini-gini Aja. Apa Yang Lu Harapkan?

Oleh: Muhammad Fadeel Aribowo
Foto: cnnindonesia.com

Coba ingat lagi saat lu bangun di pagi hari. Mulai dari meraih telepon genggam, lalu duduk, garuk-garuk leher, cuci muka, sampai menatap layar laptop lu lagi seperti hari-hari sebelumnya. Lain lagi saat siang hari, ngobrol dengan keluarga, chatting dengan gebetan (kalau punya), scroll media sosial sampai berdiam diri di bilik merenung yang juga seperti hari-hari sebelumnya.

Anggaplah biar kita bisa lepas dari kebosanan ini kita mulai mencari-cari rutinitas baru. Mulai dengan mencari hobi baru sampai melakukan hal-hal tidak masuk akal, contohnya koprol di jalan setiap pagi. Mungkin lu akan ngerasa fresh untuk sementara. Tapi untuk kelanjutannya? Apa lu tetep yakin kalau perasaan lu bakal tetep fresh? Ujung-ujungnya kita akan kembali merasa bosan.

Kemonotonan hidup ini juga ditanggapi oleh Arthur Schopenhauer. Filsuf paling pesimis di dunia itu pernah berkata bahwa urutan hidup itu hanya terdiri dari kesengsaraan-periode tenang-kesengsaraan kembali. Nggak ada kegembiraan, yang ada cuma ketegangan hidup.

Lalu, jikalau hidup memang gini-gini aja, apa yang harus kita lakukan?

Mungkin hidup memang ditakdirkan untuk berlangsung monoton, tetapi itu bukan berarti kita tidak berhak merasa bahagia. Seorang filsuf eksistensialis paling masyhur, Nietzsche pernah berujar bahwa hidup itu cuma berputar-putar antara kejadian yang sama lanjut ke kejadian yang sama lagi. Dengan pekerjaan sama yang bosenin, dompet yang tetap kering, ditambah lagi perasaan yang semakin lama, semakin buat lu ter-alienasi.

Namun, menurut Nietzsche juga, kita bisa memilih untuk mencintai kehidupan itu sendiri. Amor Fati, cintai lah takdirmu. Sebuah ungkapan legendaris dari salah satu filsuf paling kontroversial sepanjang sejarah itu. Ya, hidup emang gini-gini aja, tapi lu bisa memilih untuk mencintai kehidupan yang statis itu. Seperti halnya mensyukuri apa yang masih kita miliki sampai saat ini. Mulai dari orang tua, teman, pacar, bahkan diri kita sendiri.

Walaupun rasa syukur itu juga sebenernya cuma gitu-gitu aja (karena kita merasakannya berulang kali juga), paling tidak itu merupakan sebuah bentuk emosi yang paling positif yang bisa dirasakan oleh manusia. Dan gak bisa dipungkiri bahwa kita menikmati emosi tersebut.

Mensyukuri rasa syukur itu sendiri.

Menurut saya, itu merupakan kebahagiaan tertinggi di hidup ini.

“Wir lieben das Leben, nicht, weil wir ans Leben, sondern ans Lieben gewöhnt sind.” – Friederich Nietzsche

“Kita mencintai kehidupan, bukan karena kita terbiasa hidup, tetapi karena kami terbiasa mencintai.”

Diterbitkan oleh HIMPUNAN MAHASISWA SASTRA RUSIA UNPAD

Website Resmi Himpunan Mahasiswa Sastra Rusia Universitas Padjadjaran. Line : @tfw6701a Twitter : @himarusunpad Instagram : @himarusunpad Youtube : HIMARUS UNPAD

Tinggalkan komentar