Memangnya Kenapa Kalau Saya Membaca Buku yang Dinilai Alay?

Photo via sintiaastarina.com

Ketika berkuliah di Fakultas Ilmu Budaya (FIB)  yang tadinya bernama Fakultas Sastra, saya menemukan satu hal yang menarik di mana terdapat dua jenis bacaan mahasiswa FIB. Mereka yang melek dengan kesusastraan tentunya membaca Shakespeare, Dickens, Gorky dan sastrawan besar lainnya, entah dalam bahasa aslinya atau terjemahan bahasa Indonesianya. Jumlah mereka yang menyukai karya-karya sastrawan besar tersebut hanya segelintir, sisanya cenderung lebih suka membaca novel-novel remaja kontemporer. Tentunya karena lebih relevan dan ringan dibandingkan novel-novel sastrawan besar yang bahasanya total njelimet.

Namun tentunya semua orang memiliki preferensi bukunya tersendiri. Ada mahasiswa yang suka keindahan kata-kata sastrawi para penulis legendaris, ada yang menyukai bahasa sederhana namun penuh petualangannya Tere Liye, dan ada juga yang kesemsem banget dengan cerita teenfiction penulis wattpad yang dibukukan. Semuanya sah, dan tak ada peraturan yang melarang seseorang untuk membaca satu jenis karya tertentu. Yah, setidaknya tidak sampai saya mendengar berita tentang seorang dosen di salah satu prodi yang mengatakan bahwa novel-novel karya Tere Liye itu alay dan tidak cukup layak disandingkan dengan karya sastra legendaris terdahulu. Karya sastra itu harus seperti karyanya Pramoedya dan teman-teman sastrawan lama.

Kalau saya boleh jujur, saya sangat kesal mendengar pernyataan dosen tersebut. Saya tumbuh besar dengan novel Tere Liye. Novel-novelnyalah yang membuat saya jatuh cinta dengan kegiatan membaca. Dari mulai novel Ayahku (Bukan) Pembohong, Rembulan Tenggelam di Wajahmu, hingga trilogi Pulang-Pergi-Pulang/Pergi. Saya belum tentu bisa menyukai karyanya Pram jika saya tidak membaca novel milik Tere Liye. Mau seberapa megahnya konstruksi cerita dan keindahan ragam tulisan yang Pram buat, cinta pertama saya adalah Tere Liye. Bisa-bisanya disebut alay dan bukan karya sastra.

Kalau begitu konsep kritik sastranya, saya pun mempertanyakan: bagaimanakah syarat sebuah karya dapat disebut karya sastra? Puisi Sitor Situmorang yang berjudul Malam Lebaran dengan satu barisnya, apakah disebut sastra? Ataukah harus sepanjang syair Mahabharata baru layak disebut karya sastra? Atau buku novel remaja Kecil-kecil Punya Karya yang penuh dengan kisah ‘cheesy’ namun digemari banyak remaja perempuan, apakah itu dapat disebut karya sastra? Ataukah harus seperti novel Voyna I Mir atau Perang dan Perdamaian karya Leo Tolstoy yang tebalnya 1000 halaman lebih, apakah disebut sastra?

Buat saya, membaca itu saja sudah merupakan anugerah dari Tuhan. Hal itu karena tidak banyak orang yang senang membaca, termasuk di dalamnya anak sastra. Jadi kalau ada yang mau baca betapa penuh petualangannya novel Tere Liye, romansa masa muda khas Bayu Permana, bergairahnya percintaan dewasa-nya Ika Natassa, atau bahkan seri buku Kecil-kecil Punya Karya. Ya silakan. KALIAN TIDAK OTOMATIS MENJADI ALAY HANYA DENGAN MEMBACA DAN MENYUKAI BUKU-BUKU TERSEBUT.

Diterbitkan oleh HIMPUNAN MAHASISWA SASTRA RUSIA UNPAD

Website Resmi Himpunan Mahasiswa Sastra Rusia Universitas Padjadjaran. Line : @tfw6701a Twitter : @himarusunpad Instagram : @himarusunpad Youtube : HIMARUS UNPAD

Tinggalkan komentar